Rabu, 29 Februari 2012

Prolog

Hari pertama di bulan Maret 2012, pagi-pagi sekali surau di sana telah mengumandangkan panggilan untuk sembahyang pagi. Dua rakaat di pagi itu saya ikuti dengan mata yang masih berat sebelah. Masih teringat jelas hasil pertandingan kualifikasi Piala Dunia tadi malam antara Timnas Indonesia melawan Timnas Bahrain yang sangat seru. yah itulah sepakbola, football is unpredictable dan pagi harinya ada laga seru Inggris kontra Belanda yang akhirnya dimenangkan tim oranye, dengan skor yang tipis tentunya.


Dinginnya udara pagi itu masih menusuk-nusuk tulang, secangkir teh hangat buatan si ibu itu menemani sembari menonton acara berita pagi di televisi. Dari dulu sepertinya sama saja, semua stasiun masih saja kompak menyajikan kabar koruptor kelas wahid negeri ini di headline berita, mungkin sudah makanan wajibnya orang Indonesia di pagi hari yang selalu saja disajikan berita korupsi yang sudah mengakar kuat di Republik ini. Belum lagi politik Indonesia yang mungkin orang Indonesia sudah tidak menghiraukannya lagi. Walaupun begitu, bukan salah stasiun tv-nya yang menyajikan berita seperti halnya diatas, justru keterbukaan pers harus diperjuangkan. Media cetak dan media online pun nggak mau kalah, berita perkembangan kasus korupsi masih setia jadi headline mereka, dan tentunya kekalahan menyakitkan Timnas Indonesia tadi malam.


Mungkin hal itu yang membuat saya menggeleng-gelengkan kepalanya di depan televisi di ruang keluarga. Perasaan saya saat itu mungkin sedih bercampur kecewa melihat keadaan negerinya seperti semakin banyak permasalahan saja. Ia mematikan televisi sejenak, berjalan ke arah pintu di sebelah barat rumahnya dan duduk bersila di dekatnya. Sembari menatap keindahan malam yang kala itu sedang cerah di atas langit rumahnya, walaupun si penunggu malam masih terlihat malu-malu menampakkan diri seutuhnya, tapi kehadiran bintang membuat suasana pada malam itu nampak hening. Dalam benaknya ia memikirkan kata-kata orang tentang sebuah negeri yang besar, yang kaya raya, yang setiap orang dapat hidup nyaman di sana. Saya hanyalah seorang pemuda 15 tahun yang sebentar lagi pada 24 Maret menjadi 16 tahun. Pada umur saya yang masih belia itu, saya mempunyai sebuah keinginan yang besar, sebuah keinginan yang ingin saya wujudkan selagi saya masih hidup di dunia, sebuah keinginan untuk melihat bangsanya maju, melihat bangsanya makmur, melihat bangsanya terbebas dari belenggu korupsi, melihat bangsanya disegani oleh bangsa-bangsa lain. Hampir setengah jam saya duduk disana, saya baru pergi ketika ibu memanggil saya untuk mematikan lampu dapur yang masih menyala pada malam itu.


"Do not look into the high dreams that you have, but gaze away the spirit that had been prepared to reach it". Begitu bunyi kata mutiara yang barusan saya temukan di sebuah blog di internet. Saya masih saja membaca kata mutiara itu berkali-kali, sampai-sampai ia menyalinnya di sebuah kertas dengan tinta yang tebal yang menempelkannya di dinding kamar . Saya kembali membaca tulisan yang kini tertempel di kamar itu, bahkan kini saya hafal dengan tulisan tersebut. "Tapakilah selangkah demi selangkah untuk menggapai cita-citamu itu", begitu suara hati saya. We must do something useful to our nation, hingga pada akhirnya kantuk mengalahkan saya yang menutup hari itu pada pukul 10 malam.


Untuk bunga-bunga bangsaku, dan pemuda Indonesia yang semangatnya tak pernah pudar, Build A Hope!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar